Bank Indonesia (BI) akan melakukan penyederhanaan nominal mata uang rupiah atau redenominasi. Hal ini disampaikan Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Timur Difi Ahmad Johasyah dalam kuliah tamu Banking Lecture Update Series "Urgensi Sistem Pembayaran dan Peran Strategis Bank Sentral dalam Penguatan Sektor Keuangan di Indonesia" yang diadakan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya (UB).
"Kami ingin satu rupiah kembali berharga. Di Singapura dan Malaysia, satu ringgit masih bisa dipakai," ujarnya saat memberikan materi di aula Gedung F FEB UB, Kamis(14/2/2019).
Lebih lanjut Difi mencontohkan secara sederhana bahwa air mineral yang saat ini seharga Rp 2.000 maka nanti akan menjadi Rp 2 saja. Tiga nolnya dipotong. Begitu juga dengan kurs dolar. Apabila saat ini 1 dolar dalam rupiah adalah Rp 14 ribu, maka nanti 1 dolar cukup menjadi Rp 14 saja.
Difi membandingkannya dengan harga di kafe-kafe yang sudah mulai ditulis secara ringkas. Misalnya 10k untuk Rp 10 ribu, 25k untuk Rp 25 ribu, atau 49k untuk Rp 49 ribu.
"Jadi, sudah ada sebenarnya. Ini kalau dapat dukungan masyarakat, inflasi stabil, pertumbuhan ekonomi bagus, dan yang paling penting kestabilan politik terjaga, itu bisa kita lakukan," ungkap Difi.
"Tapi teman-teman harus siap dengan satu konsekuensi," lanjutnya. Konsekuensi yang dimaksud Difi adalah hidupnya kembali uang sen.
Adanya uang sen sendiri merupakan praktik yang sudah lazim ada di mana-mana. Contohnya di Malaysia dan Singapura. Adanya uang sen ini, menurut Difi. juga akan bisa mengendalikan harga.
"Dan itu harus kita lakukan. Karena sekarang kita terjebak dengan pecahan besar," jelasnya.
Menurut pengamatannya, uang ratusan rupiah saat ini sudah mulai kurang dihargai. Dampaknya, apabila ada kenaikan harga, misalnya uang parkir menjadi Rp 2.200, maka masyarakat akan membulatkan menjadi Rp 3 ribu. Begitu juga dengan jalan tol yang naik dari Rp 18 ribu menjadi Rp 20 ribu. "Kita sudah terjebak dengan pecahan besar," tandasnya.
Untuk diketahui, sesungguhnya uang Rp 50 pun masih dihargai hingga saat ini. "Kalau dalam bentuk pembayarannya masih. Soalnya, pajak di kami itu datang masih suka ada nol koma sekian. Dan kita harus bayar persis," ucap Difi.
Baca Sumber
Komentar
Posting Komentar