Malam itu sekitar jam 21:00 WIB aku pulang dari suatu acara di Masjid Al-Akbar Surabaya. Tidak terlalu jauh dari masjid, mampir dulu ke mini market untuk membelikan pesanan istri. Di parkiran itu ada bapak yang menarik perhatianku. Seorang bapak yang duduk bersandar di pagar tembok persis depan mini market. Duduk dengan memeluk kaki. Menggelar dagangan yang dilihat dari jauh seperti jajanan kecil.
Usai masuk mini market dan membeli kebutuhan, aku menghampiri beliau. Dari dekat terlihat jajanan yang sering aku jumpai saat masih SD dulu. Di daerah kami namanya Gipang, sementara yang bapak itu jual bernama Jipang. Hanya beda nama saja, bentuknya sama persis.
Sebenarnya aku tidak terlalu suka dan tidak terlalu butuh. Tetapi rasa kasih kasihan yang membuat tangan ini bergerak merogoh isi dompet. Satu pack besar berisi 10 buah. Dia jual seharga Rp 10.000. Setelah transaksi, aku ngobrol cukup lama dengannya.
Bapak itu bernama Trimo. Rumahnya di Blora Jawa Tengah. Jauh-jauh ke Surabaya untuk berjualan Jipang. "Karena di daerah saya sudah banyak mas yang jualan ginian, sudah banyak pesaing." Tutur bapak yang sudah punya cucu itu.
Pak Trimo dari Blora ke Surabaya naik Bus. Di Surabaya tidak ngekos atau ngontrak. Dia sering tidur di pos Satpam TVRI. "Di kota besar ini untunglah saya bertemu orang baik yang memberi tempat berteduh cuma-cuma." Lanjutnya.
Dia berjualan berpindah-pindah. Mencari tempat keramaian seperti pesta atau di depan mini market. Hal biasa baginya menempuh jarak berpuluh kilo meter sehari sambil memikul dagangan. Terlihat sendal yang digunakan sudah tipis dan telapak kaki yang kapalan.
Pak Trimo kemudian menceritakan pahitnya perjuangan demi menghidupi anak istri. Jelas tenaga terkuras. Berjualan dari pagi sampai malam. Belum lagi kerap diejek oleh tetangga. "Halah jualan jipang ke Surabaya. Emang ada yang mau beli." Ucap pak Trimo menirukan orang yang mengejeknya. Bahkan pernah juga ada yang sampai berkata-kata kasar bernada penghinaan. "Pergi sana, kamu jualan di sini bikin sial daganganku aja. Kayak gembel." Tutur pak Trimo kembali menirukan ucapan orang yang mengusirnya.
Ketika ditanya berapa pack yang terjual sehari, pak Trimo awalnya tak mau memberitahu. "Takut riya mas." Ucapnya singkat. Sontak saja aku makin penasaran. Akhirnya dengan teknik pendekatan psikologis lebih dalam, beliau mau membongkar penghasilannya berjualan Jipang.
"Namanya dagang gak pasti mas, saya juga gak nyangka bisa laku banyak setiap hari. Ini ada campur tangan Gusti Allah. Dalam sehari paling dikit laku 20 pack. Pernah sampai 50 pack perhari. Pernah juga dalam sehari harus balik lagi ke Bojonegoro ambil dagangan karena sudah ludes sehari sebelum sore." Jelas pak Trimo.
Kalau kita kecilkan saja ambil 20 pack sehari. 1 pack seharga Rp 10.000. Berarti sehari dapat Rp 200.000. Dan artinya sebulan omzetnya Rp 6.000.000. Demi mengkonfirmasi hitungan kasar itu aku nekat bertanya lebih rinci berapa penghasilan bersih rata-rata setiap bulan. Syukurlah beliau berkenan blak-blakan. "Alhamdulillah paling dikit 5 juta per bulan mas." Ucap pak Trimo yang bikin aku melongo di tempat.
Jelas saja kaget. Gajiku saat dulu masih menjabat Supervisor di koran ternama aja gak sampai segitu. Dan karyawan kantoran level staff paling juga UMR setempat. Salut lah pokoknya sama bapak yang satu ini. Inspiratif.
Dari sini kita bisa memetik hikmah. Jangan sekali-sekali meremehkan orang lain. Apalagi mengukur isi dompetnya. Karena yang tampak belum tentu itu kebenarannya.
Sebelum berpisah, bapak ini memberikan sedikit nasihat dalam bahasa jawa yang artinya kurang lebih seperti ini:
"Lebih baik terlihat tak berduit, tetapi berduit. Daripada orang yang pengen tampak kaya tetapi banyak hutangnya. Terlebih itu bernilai riya. Percuma dan bakal celaka."
Sumber:
Usai masuk mini market dan membeli kebutuhan, aku menghampiri beliau. Dari dekat terlihat jajanan yang sering aku jumpai saat masih SD dulu. Di daerah kami namanya Gipang, sementara yang bapak itu jual bernama Jipang. Hanya beda nama saja, bentuknya sama persis.
Sebenarnya aku tidak terlalu suka dan tidak terlalu butuh. Tetapi rasa kasih kasihan yang membuat tangan ini bergerak merogoh isi dompet. Satu pack besar berisi 10 buah. Dia jual seharga Rp 10.000. Setelah transaksi, aku ngobrol cukup lama dengannya.
Bapak itu bernama Trimo. Rumahnya di Blora Jawa Tengah. Jauh-jauh ke Surabaya untuk berjualan Jipang. "Karena di daerah saya sudah banyak mas yang jualan ginian, sudah banyak pesaing." Tutur bapak yang sudah punya cucu itu.
Pak Trimo dari Blora ke Surabaya naik Bus. Di Surabaya tidak ngekos atau ngontrak. Dia sering tidur di pos Satpam TVRI. "Di kota besar ini untunglah saya bertemu orang baik yang memberi tempat berteduh cuma-cuma." Lanjutnya.
Dia berjualan berpindah-pindah. Mencari tempat keramaian seperti pesta atau di depan mini market. Hal biasa baginya menempuh jarak berpuluh kilo meter sehari sambil memikul dagangan. Terlihat sendal yang digunakan sudah tipis dan telapak kaki yang kapalan.
Pak Trimo kemudian menceritakan pahitnya perjuangan demi menghidupi anak istri. Jelas tenaga terkuras. Berjualan dari pagi sampai malam. Belum lagi kerap diejek oleh tetangga. "Halah jualan jipang ke Surabaya. Emang ada yang mau beli." Ucap pak Trimo menirukan orang yang mengejeknya. Bahkan pernah juga ada yang sampai berkata-kata kasar bernada penghinaan. "Pergi sana, kamu jualan di sini bikin sial daganganku aja. Kayak gembel." Tutur pak Trimo kembali menirukan ucapan orang yang mengusirnya.
Ketika ditanya berapa pack yang terjual sehari, pak Trimo awalnya tak mau memberitahu. "Takut riya mas." Ucapnya singkat. Sontak saja aku makin penasaran. Akhirnya dengan teknik pendekatan psikologis lebih dalam, beliau mau membongkar penghasilannya berjualan Jipang.
"Namanya dagang gak pasti mas, saya juga gak nyangka bisa laku banyak setiap hari. Ini ada campur tangan Gusti Allah. Dalam sehari paling dikit laku 20 pack. Pernah sampai 50 pack perhari. Pernah juga dalam sehari harus balik lagi ke Bojonegoro ambil dagangan karena sudah ludes sehari sebelum sore." Jelas pak Trimo.
Kalau kita kecilkan saja ambil 20 pack sehari. 1 pack seharga Rp 10.000. Berarti sehari dapat Rp 200.000. Dan artinya sebulan omzetnya Rp 6.000.000. Demi mengkonfirmasi hitungan kasar itu aku nekat bertanya lebih rinci berapa penghasilan bersih rata-rata setiap bulan. Syukurlah beliau berkenan blak-blakan. "Alhamdulillah paling dikit 5 juta per bulan mas." Ucap pak Trimo yang bikin aku melongo di tempat.
Jelas saja kaget. Gajiku saat dulu masih menjabat Supervisor di koran ternama aja gak sampai segitu. Dan karyawan kantoran level staff paling juga UMR setempat. Salut lah pokoknya sama bapak yang satu ini. Inspiratif.
Dari sini kita bisa memetik hikmah. Jangan sekali-sekali meremehkan orang lain. Apalagi mengukur isi dompetnya. Karena yang tampak belum tentu itu kebenarannya.
Sebelum berpisah, bapak ini memberikan sedikit nasihat dalam bahasa jawa yang artinya kurang lebih seperti ini:
"Lebih baik terlihat tak berduit, tetapi berduit. Daripada orang yang pengen tampak kaya tetapi banyak hutangnya. Terlebih itu bernilai riya. Percuma dan bakal celaka."
Sumber:
Komentar
Posting Komentar